Muslim Membaur di China Kecil
- Oleh Saiful Annas
NYOO Thiam Pie (67), tak pernah menyesal menambahkan kata Muhammad di depan nama pemberian orang tuanya. Jadilah Muhammad Nyoo Thiam Pie, nama lengkapnya. Nama itu sekaligus meneguhkan jati dirinya sebagai seorang muslim.
Memeluk Islam baginya adalah sebuah anugerah. Menjadi jawaban atas doa semasa mudanya. Dengan Islam, ia mengaku telah menjadi sadar. Sewaktu muda, minum (minum minumak keras) dan main perempuan sudah lumrah.
”Sewaktu muda saya pernah berdoa. Jika sudah tua dan pensiun bekerja, saya ingin beragama yang benar. Agama Budha dan Islam ada di benak saya waktu itu. Ternyata, Islam-lah yang telah menyadarkan saya,” terangnya.
Nada suaranya bergetar saat menyebut kata Islam. Ia sepertinya mendapat ketenangan jiwa dengan agama barunya itu. Saat ini, Muhammad Thiam Pie tinggal serumah dengan istri keduanya, Khalimah (60), dan Andre Yopianto (30), putra Khalimah dengan suami pertamanya, di Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang.
Ia kali pertama kenal dengan agama Islam setelah ada seorang kiai yang ”nekat” membuka pondok pesantren di tengah perkampungan etnis Tionghoa di desa itu. Bagi warga keturunan saat itu, kiai adalah sosok yang keras dan ditakuti.
Ternyata gambaran sosok kiai yang dikenalnya selama ini keliru. Pembauran muslim dan warga Tionghoa telah membuka hatinya. Bahwa Islam adalah agama yang baik dan tidak membeda-bedakan.
”Setelah melihat sendiri ada kiai dan santri mengantarkan jenazah warga Tionghoa hingga ke kuburan. Hati saya pun tersentuh,” terangnya.
Maka, di suatu hari pada November 2005, ia melafalkan syahadat, mengakui Islam sebagai agamanya. ”Saya Islam karena ada niat. Agama yang baik karena berhubungan baik dengan agama lain, dengan warga Tionghoa juga akrab. Ramadan tahun ini menjadi kesempatan untuk beribadah sebanyak-banyaknya,” ungkapnya.
Kisah hidup Muhammad Nyoo Thiam Pie dengan agama barunya hanya sekelumit cerita dari sejarah panjang pembauran Islam-China di Kecamatan Lasem. Sejarah mencatat, kedatangan orang China pertama di Lasem terjadi pada abad XV (1411-1416).
Permukiman China
Dipelopori Bi Nang Un, seorang China muslim beraliran Hanafi, utusan Dinasti Ming yang berasal dari wilayah Yunan. Ia kemudian mendirikan perkampungan China di Lasem. Baru setelah itu, gelombang kedatangan orang China berikutnya didominasi orang Hokkian yang menganut agama Kong Hu Cu.
Lasem yang waktu itu berkembang menjadi kota pelabuhan, menjadi daya tarik tersendiri bagi warga China yang gemar berdagang. ”Kedatangan gelombang pertama warga China semuanya lelaki. Mereka kemudian berbaur dengan pribumi, menikah dan memiliki keturunan di Lasem,” jelas Sigit Witjaksono, pemerhati Sejarah Lasem.
Hubungan Pribumi-China semakin erat pada masa pemberontakan melawan VOC pada tahun 1742-1750. Saat itu, perang melawan penjajah dipimpin tiga bersaudara (setelah menjalankan upacara sumpah sebagai saudara angkat).
Ketiganya masing-masing Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oey Ing Kiat), seorang Adipati Lasem (1727-1743) dan Mayor Lasem (1743-175), Raden Panji Margono, putra Tejakusuma V, Adipati Lasem (1714-1727), yang seorang pribumi dan Tan Kee We, seorang pendekar kungfu dan pengusaha di Lasem.
Nama ketiganya abadi dan ditulis besar-besar di Kelenteng Gie Yong Bio, Babagan, Lasem, yang didirikan tahun 1780 untuk menghormati jasa mereka. ”Selain dalam pergaulan, pembauran etnis Tionghoa dan pribumi juga jelas terlihat dalam berbagai motif batik tulis Lasem,” jelasnya.
Pengaruh budaya China pun terasa mendominasi pada banyak segi kehidupan kota. Banyak peninggalan bangunan tua yang sudah berusia ratusan tahun. Sebagian besar bernuansa arsitektur khas China, ada juga yang bernuansa Eropa klasik.
Karena keunikannya, peneliti Eropa menyebut Lasem sebagai ”The Little Beijing Old Town”. Sementara peneliti Perancis menjuluki Lasem ”Le Petit Chinois”, keduanya bermakna China Kecil.
Pengasuh Pondok Kauman Lasem KH Zaíim Ahmad Maíshoem (Gus Zaim) menyebutkan, pembauran etnis di Lasem telah menelurkan proses asimiliasi dan akulturasi budaya yang saling memengaruhi. Ia mencontohkan, rumah warga China di Lasem tak murni berarsitektur China. Di dalamnya, ada pengaruh gaya mataraman (pribumi) hingga Eropa.
Tingginya nilai toleransi antar warga ini lah yang kemudian menjadikan kehidupan antar beragama menjadi berkembang. Data Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Rembang menyebutkan, meski warga Lasem didominasi etnis Tionghoa, jumlah pondok pesantren justru terus bertambah.
Hingga 2011, tercatat ada sebanyak 23 pondok pesantren yang menampung ribuan santri lokal, luar Rembang bahkan luar Pulau Jawa. ”Bahkan semua tokoh agama dan warga berkumpul di pondok menyambut kunjungan Bapak Yusril Ihza Mahendra beberapa tahun lalu. Sepertinya akan sangat sulit membedakan mana China dan mana pribumi. Semua sudah membaur,” tuturnya.(47)
-- Harian Suara Merdeka, Edisi 7 Agt 2011
0 komentar:
Posting Komentar