Sudah menjadi keyakinan sebagian masyarakat tidak terkecuali kaum muslimin yang masih meyakini akan hari-hari atau bulan-bulan tertentu yang bisa mendatangkan suatu kesialan, kemudharatan dan musibah. Mereka sebisa mungkin menghindari hari-hari atau bulan-bulan tertentu untuk melakukan suatu aktivitas yang dianggap penting dalam kehidupannya.
Banyak masyarakat yang masih berkeyakinan bahwa bulan Safar adalah bulan yang membawa kesialan sehingga mereka tidak diperboleh melakukan berbagai kegiatan (aktivitas) penting seperti menikah, bepergian jauh, bisnis atau muamalah.
Ada juga orang-orang di India yang meyakini bahwa 13 hari pertama di bulan Safar adalah hari kesialan yang bisa mendatangkan musibah, yang mereka namakan dengan ”Kesialan Memilukan” dan diyakini bahwa ia akan merusak amal-amal dan menjadikan tidak berguna usaha seseorang. (Risalah Tauhid juz I hal 135, Maktabah Syamilah)
Semisal dengan itu adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat arab jahiliyah dahulu yang dikenal dengan istilah asy syu’mu (kesialan) dan thiyaroh / tathoyyur, yaitu kebiasaan mereka ketika ingin melakukan bepergian atau keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu mereka melihat dari mana arah burung yang melintas dihadapannya.
Jika yang melintas dihadapannya adalah burung dari arah sebelah kanan maka mereka pergi dan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya. Namun jika yang melintas adalah burung dari arah kiri maka mereka mengurungkan niatnya untuk pergi atau kalau pun sudah melangkah dari rumah dan di tengah perjalanan mereka melihat burung dari arah kiri maka mereka akan kembali lagi ke rumahnya karena tidak ingin ditimpa suatu kesialan / musibah.
Disebutkan di dalam Sohih Bukhori, bahwa Abdullah bin Umar ra berkata, ”Saya mendengar Nabi saw bersabda,’Sesungguhnya kesialan itu pada tiga perkara : kuda, wanita dan tempat tinggal.” Juga hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as Sa’idiy ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada (kesialan) pada sesuatu maka ada pada wanita, kuda dan tempat tinggal.”
Hadits tersebut tidak berarti bahwa asy syu’mu (kesialan) diperbolehkan di dalam ketiga perkara tersebut, yaitu; kuda, wanita dan tempat tinggal. Namun maksud dari hadits itu adalah bahwa asy syu’mu pada masyarakat jahiliyah saat itu banyak terjadi di dalam tiga perkara tersebut.
Imam Qurthubi mengatakan, ”Jangan beranggapan seperti orang-orang jahiliyah yang meyakini bahwa perkara-perkara itu semua dapat memberikan manfaat atau mudharat dengan sendirinya, sesungguhnya ini adalah keyakinan yang salah. Namun yang saya maksud adalah bahwa perkara-perkara itu adalah yang paling banyak dipakai manusia untuk tathoyyur. Barangsiapa muncul didalam dirinya sesuatu dari itu semua maka dia boleh meninggalkan dan menggantinya dengan yang lain.
Al Mazini mengatakan bahwa secara global riwayat ini,”Apabila ada (kemalangan) pada sesuatu maka ada pada wanita, kuda dan tempat tinggal.” berarti bahwa kemalangan didalam jiwa manusia ada pada ketiga perkara itu lebih banyak ketimbang selainnya.(Fathul Bari juz VI hal 68 – 69)
Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang larangan bepergian dan berjima pada hari-hari tertentu maka beliau menjawab bahwa itu semua adalah batil karena Nabi saw telah melarang tathoyyur sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih dari Muawiyah bin al Hakim as Sulamiy berkata,” Aku mengatakan,’Wahai Rasulullah saw sesungguhnya ada sebagian dari masyarakat kita yang mendatangi dukun? Beliau saw bersabda,’Jangan kalian mendatanginya.’ Aku mengatakan,’Diantara kita juga ada yang suka tathoyyur.? Beliau saw bersabda,’Itu adalah sesuatu yang terdapat dalam setiap kalian namun janganlah menghalangi kalian.”
Jika Allah swt telah melarang thiyaroh yang mencegahmu terhadap sesuatu yang sudah kamu tekadkan, maka bagaimana dengan hari-hari dan malam-malam itu ? Akan tetapi disunnahkannya bepergian pada hari kamis, sabtu dan senin bukan berarti dilarang bepergian pada hari-hari yang lainnya kecuali hari jum’at karena apabila seseorang bepergian sehingga meninggalkan sholat jum’at maka disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Adapun berjima’ maka tidaklah makruh jika dilakukan dihari manapun. (Majmu’ Fatawa juz VI hal 315, Maktabah Syamilah)
Di antara bahaya yang merusak aqidah seseorang tatkala ia meyakini bahwa ada hari-hari atau bulan-bulan tertentu yang baik atau tidak baik adalah: menghilangkan keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena takdir Allah, menyandarkan segala urusan bukan kepada Allah swt dan tidak bertawakal kepada-Nya atas segala perbuatan yang dilakukannya.
Taat kepada Allah Diutamakan
Allah swt memerintahkan setiap anak untuk berbuat baik dan berbakti kepada orang tuanya, tidak menyinggung perasaan mereka atau menyakiti hatinya dengan tingkah laku atau kata-kata yang tidak mereka sukai karena hal ini termasuk dalam dosa besar.
Namun demikian kecintaan dan ketaatan kepada orang tua haruslah didalam perkara-perkara yang tidak dilarang Allah swt atau bukan didalam urusan-urusan kemaksiatan. Dan jika mereka berdua memerintahkan hal-hal yang dilarang Allah swt maka tidak ada ketaatan kepada mereka, sebagaimana firman Allah swt,”Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman : 15)
Diriwayatkan dari Harb, dia berkata, Sa’ad bin Malik berkata,’Ayat ini turun menceritakan tentang diriku. Dia bercerita,’Tatkala aku masuk islam maka ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan apa pun dan tidak akan minum apa pun. Sa’ad berkata,”Pada hari pertama aku mengajaknya makan maka ia pun menolak dan tetap tidak bergeming. Pada hari kedua aku kembali mengajaknya makan dan ia pun tetap menolak. Pada hari ketiga aku mengajaknya lagi dan ia tetap saja menolak kemudian aku mengatakan,’Demi Allah seandainya ibu memiliki seratus nyawa dan keluar seluruhnya maka aku tidak akan tinggalkan agama ini.’ Tatkala ibuku melihat dan mengetahui bahwa aku tidak akan melakukan apa yang dia kehendaki maka ia pun kembali makan. (Tafsir ath Thobari juz XX hal 138, Maktabah Syamilah)
Kisah Sa’ad terhadap ibunya diatas menujukkan keistiqomahannya didalam taat kepada Allah swt walaupun mendapat tantangan yang berat dari orang yang dicintainya, yaitu ibunya. Ancaman ibunya agar dia meninggalkan islam dan kembali kepada kemusyrikan tidaklah berpengaruh apa-apa terhadap keimanannya.
Namun demikian dia tidak melupakan untuk senantiasa berbuat baik kepada ibunya walaupun berbeda prinsip keyakinannya. Ia tetap setiap harinya memberikan perhatian kepadanya, menyediakan makanan untuknya serta mengajaknya makan bersama hingga Allah swt meluluhkan juga sikap kerasnya.
Maka disebutkan lagi didalam ayat itu,”Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” Yang artinya tetaplah seorang anak menghormati dan mentaati kedua orang tuanya didalam perkara-perkara yang tidak ada maksiat dan dosa kepada Allah swt. Jika ada perintah-perintahnya yang melanggar aturan Allah swt maka hendaklah ia menolaknya dengan cara yang baik dan santun tanpa harus meninggikan suara atau bersikap kasar terhadapnya.
Terlebih lagi jika kedua orang tuanya masih satu aqidah dengannya (Islam) dan penyimpangan yang dilakukan hanya disebabkan ketidaktahuannya akan prinsip-prinsip islam maka mereka memiliki hak untuk diberitahu dan diajarkan tentangnya tanpa terburu-buru memberikan vonis terhadapnya.
Menolak keinginan untuk melakukan kemaksiatan seperti yang diinginkan kedua orang tua bukanlah berarti dia tidak mentaatinya karena ketaatan kepada kedua orang tua harus ditempatkan dibawah ketaatannya kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Wallahu A’lam
*ditulis kembali dari berbagai sumber
Banyak masyarakat yang masih berkeyakinan bahwa bulan Safar adalah bulan yang membawa kesialan sehingga mereka tidak diperboleh melakukan berbagai kegiatan (aktivitas) penting seperti menikah, bepergian jauh, bisnis atau muamalah.
Ada juga orang-orang di India yang meyakini bahwa 13 hari pertama di bulan Safar adalah hari kesialan yang bisa mendatangkan musibah, yang mereka namakan dengan ”Kesialan Memilukan” dan diyakini bahwa ia akan merusak amal-amal dan menjadikan tidak berguna usaha seseorang. (Risalah Tauhid juz I hal 135, Maktabah Syamilah)
Semisal dengan itu adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat arab jahiliyah dahulu yang dikenal dengan istilah asy syu’mu (kesialan) dan thiyaroh / tathoyyur, yaitu kebiasaan mereka ketika ingin melakukan bepergian atau keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu mereka melihat dari mana arah burung yang melintas dihadapannya.
Jika yang melintas dihadapannya adalah burung dari arah sebelah kanan maka mereka pergi dan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya. Namun jika yang melintas adalah burung dari arah kiri maka mereka mengurungkan niatnya untuk pergi atau kalau pun sudah melangkah dari rumah dan di tengah perjalanan mereka melihat burung dari arah kiri maka mereka akan kembali lagi ke rumahnya karena tidak ingin ditimpa suatu kesialan / musibah.
Disebutkan di dalam Sohih Bukhori, bahwa Abdullah bin Umar ra berkata, ”Saya mendengar Nabi saw bersabda,’Sesungguhnya kesialan itu pada tiga perkara : kuda, wanita dan tempat tinggal.” Juga hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as Sa’idiy ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada (kesialan) pada sesuatu maka ada pada wanita, kuda dan tempat tinggal.”
Hadits tersebut tidak berarti bahwa asy syu’mu (kesialan) diperbolehkan di dalam ketiga perkara tersebut, yaitu; kuda, wanita dan tempat tinggal. Namun maksud dari hadits itu adalah bahwa asy syu’mu pada masyarakat jahiliyah saat itu banyak terjadi di dalam tiga perkara tersebut.
Imam Qurthubi mengatakan, ”Jangan beranggapan seperti orang-orang jahiliyah yang meyakini bahwa perkara-perkara itu semua dapat memberikan manfaat atau mudharat dengan sendirinya, sesungguhnya ini adalah keyakinan yang salah. Namun yang saya maksud adalah bahwa perkara-perkara itu adalah yang paling banyak dipakai manusia untuk tathoyyur. Barangsiapa muncul didalam dirinya sesuatu dari itu semua maka dia boleh meninggalkan dan menggantinya dengan yang lain.
Al Mazini mengatakan bahwa secara global riwayat ini,”Apabila ada (kemalangan) pada sesuatu maka ada pada wanita, kuda dan tempat tinggal.” berarti bahwa kemalangan didalam jiwa manusia ada pada ketiga perkara itu lebih banyak ketimbang selainnya.(Fathul Bari juz VI hal 68 – 69)
Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang larangan bepergian dan berjima pada hari-hari tertentu maka beliau menjawab bahwa itu semua adalah batil karena Nabi saw telah melarang tathoyyur sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih dari Muawiyah bin al Hakim as Sulamiy berkata,” Aku mengatakan,’Wahai Rasulullah saw sesungguhnya ada sebagian dari masyarakat kita yang mendatangi dukun? Beliau saw bersabda,’Jangan kalian mendatanginya.’ Aku mengatakan,’Diantara kita juga ada yang suka tathoyyur.? Beliau saw bersabda,’Itu adalah sesuatu yang terdapat dalam setiap kalian namun janganlah menghalangi kalian.”
Jika Allah swt telah melarang thiyaroh yang mencegahmu terhadap sesuatu yang sudah kamu tekadkan, maka bagaimana dengan hari-hari dan malam-malam itu ? Akan tetapi disunnahkannya bepergian pada hari kamis, sabtu dan senin bukan berarti dilarang bepergian pada hari-hari yang lainnya kecuali hari jum’at karena apabila seseorang bepergian sehingga meninggalkan sholat jum’at maka disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Adapun berjima’ maka tidaklah makruh jika dilakukan dihari manapun. (Majmu’ Fatawa juz VI hal 315, Maktabah Syamilah)
Di antara bahaya yang merusak aqidah seseorang tatkala ia meyakini bahwa ada hari-hari atau bulan-bulan tertentu yang baik atau tidak baik adalah: menghilangkan keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena takdir Allah, menyandarkan segala urusan bukan kepada Allah swt dan tidak bertawakal kepada-Nya atas segala perbuatan yang dilakukannya.
Taat kepada Allah Diutamakan
Allah swt memerintahkan setiap anak untuk berbuat baik dan berbakti kepada orang tuanya, tidak menyinggung perasaan mereka atau menyakiti hatinya dengan tingkah laku atau kata-kata yang tidak mereka sukai karena hal ini termasuk dalam dosa besar.
Namun demikian kecintaan dan ketaatan kepada orang tua haruslah didalam perkara-perkara yang tidak dilarang Allah swt atau bukan didalam urusan-urusan kemaksiatan. Dan jika mereka berdua memerintahkan hal-hal yang dilarang Allah swt maka tidak ada ketaatan kepada mereka, sebagaimana firman Allah swt,”Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman : 15)
Diriwayatkan dari Harb, dia berkata, Sa’ad bin Malik berkata,’Ayat ini turun menceritakan tentang diriku. Dia bercerita,’Tatkala aku masuk islam maka ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan apa pun dan tidak akan minum apa pun. Sa’ad berkata,”Pada hari pertama aku mengajaknya makan maka ia pun menolak dan tetap tidak bergeming. Pada hari kedua aku kembali mengajaknya makan dan ia pun tetap menolak. Pada hari ketiga aku mengajaknya lagi dan ia tetap saja menolak kemudian aku mengatakan,’Demi Allah seandainya ibu memiliki seratus nyawa dan keluar seluruhnya maka aku tidak akan tinggalkan agama ini.’ Tatkala ibuku melihat dan mengetahui bahwa aku tidak akan melakukan apa yang dia kehendaki maka ia pun kembali makan. (Tafsir ath Thobari juz XX hal 138, Maktabah Syamilah)
Kisah Sa’ad terhadap ibunya diatas menujukkan keistiqomahannya didalam taat kepada Allah swt walaupun mendapat tantangan yang berat dari orang yang dicintainya, yaitu ibunya. Ancaman ibunya agar dia meninggalkan islam dan kembali kepada kemusyrikan tidaklah berpengaruh apa-apa terhadap keimanannya.
Namun demikian dia tidak melupakan untuk senantiasa berbuat baik kepada ibunya walaupun berbeda prinsip keyakinannya. Ia tetap setiap harinya memberikan perhatian kepadanya, menyediakan makanan untuknya serta mengajaknya makan bersama hingga Allah swt meluluhkan juga sikap kerasnya.
Maka disebutkan lagi didalam ayat itu,”Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” Yang artinya tetaplah seorang anak menghormati dan mentaati kedua orang tuanya didalam perkara-perkara yang tidak ada maksiat dan dosa kepada Allah swt. Jika ada perintah-perintahnya yang melanggar aturan Allah swt maka hendaklah ia menolaknya dengan cara yang baik dan santun tanpa harus meninggikan suara atau bersikap kasar terhadapnya.
Terlebih lagi jika kedua orang tuanya masih satu aqidah dengannya (Islam) dan penyimpangan yang dilakukan hanya disebabkan ketidaktahuannya akan prinsip-prinsip islam maka mereka memiliki hak untuk diberitahu dan diajarkan tentangnya tanpa terburu-buru memberikan vonis terhadapnya.
Menolak keinginan untuk melakukan kemaksiatan seperti yang diinginkan kedua orang tua bukanlah berarti dia tidak mentaatinya karena ketaatan kepada kedua orang tua harus ditempatkan dibawah ketaatannya kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Wallahu A’lam
*ditulis kembali dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar