Pada akhir Pemerintahan
Majapahit atau Masa kejayaan Kasultanan Demak Bintoro di wilayah Madiun
selatan terdapat Kadipaten Gegelang atau Ngurawan yang didirikan oleh
Pangeran Adipati Gugur salah satu putra Prabu Brawijaya V. Dengan
perkawinan putra mahkota Demak Pangeran Surya Pati Unus dengan Raden Ayu
Retno Lembah putri dari Pangeran Adipati Gugur yang berkuasa di
Ngurawan ( mungkin Dolopo sekarang ) maka pusat pemerintahan dipindahkan
dari Ngurawan ke Desa Sogaten dengan nama baru yaitu Purabaya.
Pangeran
Surya Pati Unus menduduki Tahta Kabupaten Purabaya menggantikan Kyai
Ageng Reksogati yang sebelumnya diangkat oleh Kasultanan Demak sebagai
pemimpin sekaligus penyebar agama Islam di wilayah Sogaten mulai tahun
1518 (Sogaten = tempat Kyai Reksogati) berdasarkan penduduk setempat
istana Purabaya di Sogaten disebut Bale kambang dan terdapat pula dusun
Santren ( mungkin dulu tempat Pesantren Kyai Reksogati )
Pangeran
Timur dilantik menjadi Bupati di Purabaya bersamaan dengan dilantiknya
Hadiwijoyo sebagai Sultan Pajang tanggal 18 Juli 1568, pemerintahan
berpusat di Desa Sogaten dan Sidomulyo sekarang. Sejak saat itu secara
yuridis formal Kabupaten Purabaya menjadi suatu wilayah pemerintahan
Kabupaten di bawah Kasultanan Pajang ( sebagai penerus Demak).
Pada
tahun 1575 pusat pemerintahan dipindahkan dari Sogaten ke Desa
Wonorejo/Wonosari di sebut juga Kutho Miring (Kuncen sekarang) yang
letaknya lebih strategis karena diapit 2 sungai yaitu Kali Catur dan
Nggandong, sampai tahun 1590.
Pada tahun 1586 Kesultanan Pajang
Runtuh akibat adanya konflik internal dan serangan dari Mataram, maka
Panembahan Rama (sebutan lain pangeran Timur) menyatakan bahwa Purabaya
adalah kabupaten bebas yang tidak terikat dengan hierarki Mataram,
dengan tidak tunduknya Purabaya pada Panembahan Senopati, maka Mataram
segera mengirim expedisi militer untuk menaklukan Purabaya sebagai
pimpinan Kabupaten Mancanegara Timur (Brang wetan), tahun 1586 dan 1587.
Namun prajurit Mataram selalu menderita kekalahan yang cukup
berat. Prajurit Purabaya dan sekutu dipimpin oleh Raden Ayu Retno
Djumilah yang telah mendapatkan mandat dari ayahnya Panembahan Rama.
Retno Djumilah memimpin seluruh Kabupaten Mancanegara Timur diantaranya,
Kabupaten Surabaya, Pasuruan, Kediri, Panaraga, Kedu, Brebek, Pakis,
Kertosono, Ngrowo, Blitar, Trenggalek, Tulung, Jogorogo dan Caruban.
Pada
tahun 1590, dengan berpura-pura menyatakan takluk dalam versi lain atas
saran Ki Mandaraka (Ki Juru Mertani) Panembahan Senopati mengutus
seorang dayang cantik jelita bernama Nyai Adisara untuk menyatakan
kekalahan dengan membawa surat takluk dan sebagai tanda, Nyai Adisara
membasuh kaki Panembahan Rama yang airnya nanti digunakan untuk siram
jamas Panembahan Senopati, hal ini membuat Pasukan Purabaya dan
sekutunya terlena, maka berangsur-angsur pulanglah pasukan sekutu dari
Kabupaten Purabaya, dengan ahli strategi Ki Juru Mertani dan 40.000
prajurit Mataram yang telah bersiap di barat Kali Madiun menyerang pusat
istana Kabupaten Purabaya, terjadilah perang hebat, tepat pada sore
hari prajurit Madiun kalah dan banyak yang melarikan diri ke Surabaya,
tinggalah Raden Ayu Retno Djumilah yang memang sudah ditugaskan
ayahandanya untuk mempertahankan Purabaya, dengan di bekali pusaka
Tundhung Mediun yang bernama Keris Kala Gumarang dan sejumlah kecil
pengawalnya.
Perang tanding terjadi antara Sutawidjaja dengan
Raden Ayu Retno Djumilah dilakukan disekitar sendang di dekat istana
Wonorejo (daerah Demangan)
Pusaka Tundung Madiun berhasil direbut
oleh Sutawijaya dan melalui bujuk rayunya, Raden Ayu Retno Djumilah
dipersunting oleh Sutawijaya kemudian diboyong ke istana Mataram
sedangkan Panembahan Rama (Ronggo Jumeno) melarikan diri ke Surabaya,
sebagai peringatan penguasaan Mataram atas Purabaya tersebut maka pada
hari Jum’at Legi tanggal 16 Nopember 1590 Masehi nama “Purabaya” diganti
menjadi “Mbediyun ” atau Mediun
Madiun pada Masa Kerajaan Mataram Islam
13.31 |
Label:
I Love Madiun
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar