Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun
1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji
Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha
Parakrama Uttunggadewa.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Pemerintahan Jayabhaya
2 Jayabhaya dalam Tradisi Jawa
3 Kepustakaan
4 Lihat pula
[sunting] Pemerintahan Jayabhaya
Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri.
Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan
(1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang,
terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti
ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa
Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang
berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan
Kadiri.
Kemenangan Jayabhaya atas Janggala disimbolkan sebagai kemenangan
Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu
Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157.
[sunting] Jayabhaya dalam Tradisi Jawa
Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga
namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau
sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya. Contoh naskah yang menyinggung
tentang Jayabaya adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa.
Dikisahkan Jayabaya adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang
beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana,
putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa.
Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi
Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan
raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam.
Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan
Anglingdarma raja Malawapati.
Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa
Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut
dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai
sekarang.
Prabu Jayabaya adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan
Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”,
antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain
sebagainya.
Dikisahkan dalam Serat Jayabaya Musarar, pada suatu hari Jayabaya
berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama
tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak
zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat.
Dari nama guru Jayabaya di atas dapat diketahui kalau naskah serat
tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Tidak
diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya. Sudah
menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar.
Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan
langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari Kadiri.
Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama
Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan
Jayabaya. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam
naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Jayabaya pada
umumnya bersifat anonim.Ramalan Jayabaya atau sering disebut Jangka
Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya
ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada
khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun
temurun oleh para pujangga .Asal Usul utama serat jangka Jayabaya dapat
dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun
banyak keraguan keaslianya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab
Musasar yg menuliskan bahwasanya Jayabayalah yg membuat ramalan-ramalan
tersebut.
"Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani."
Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan
Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak
menyebut dalam kitab-kitab mereka: Kakawin Bharatayuddha, Kakawin
Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Jayabaya memiliki
karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara
kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan
Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita
ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi
Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah
titisan Dewi Sri.[1]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Asal-usul
2 Analisa
3 Kitab Musasar Jayabaya
4 Isi Ramalan
5 Kepustakaan
6 Pranala luar
[sunting] Asal-usul
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya,
maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini
sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri
Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H
= 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton
tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535
Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak jamannya Sultan
Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya
Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang
dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini
memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya
punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat
Demak. Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila
beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang
riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru,
Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V
dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton
Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya
sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad
Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa,
Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang
penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang
memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn
(1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda.
Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk
kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van
Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga
diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas
dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa
Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun
1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672
Jawa 1747 M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta.
Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri
yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di
Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai
pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari
Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.
[sunting] Analisa
Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab
Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan
Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut
nama baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu
gambaran gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya
Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam
pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini
nampaknya Merupakan jaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang
berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan
sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian
adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan
juga sampai jaman Sunan Giri ke-3.
Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena
penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden
Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun
tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di
Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara
1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama
mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat
pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa
Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat
julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian
karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu
dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga
hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni,
Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro
Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak
kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari
Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan
Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu
Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah
beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali
kewibawaannya, justru nanti dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini
berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin)
sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi,
karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara
boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung
dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh
Sultan Agung).
Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian
dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita
Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin
Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M
atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data
baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai
meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan
gubahan "JANGKA JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat
Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-ndgara
dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.
Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan
dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber
semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai jaman keemasan itu,
jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita
teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah
negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama "REPUBLIK
INDONESIA"!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa
mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama
pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti
Pangeran Wijil I.
Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar
oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang
Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata
dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan
Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh
bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang
bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan
ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain
sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya
Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus
serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian,
Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I
pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk
puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita
baca sekarang ini.
[sunting] Kitab Musasar Jayabaya
Asmarandana
Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah
dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya.
Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang
Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan
Maolana.
Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut
sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa
pantas dihormati.
Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya,
perkenankan saya memberi petuah padamu menge.nai Kitab Musarar.
Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan
diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya.
Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata.
Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab
Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali.
Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah,
Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak kemudian hari ada
Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa membawa ecis
tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya
seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu..
Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah
lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata
sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar memanggil seorang
endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan
lengkap delapan dengarn endangnya.
Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu
bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan
kembang mojar satu bungkus.
Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah :
“Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian
menarik senjata kerisnya.
Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian
dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja
putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya.
Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa
kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda.
Sinom
Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab
Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja
di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman lagi bukan perbuatan
saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi.
Diberi lambang Jaman Catur semune segara asat.
Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu
masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan
keburukan.
Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada
jaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan
saudara-saudara ditempat yang rahasia.
Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui
oleh anak cucu bahwa akan ada jaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa.
Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara
Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara, Setelah
seratus tahun kemudian musnah.
Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab
saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti
jaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut
Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis
(uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune
curiga ketul. Kemudian berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi dengan
ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati
Kalawisaya.
Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta
wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Temyata saya
diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak
kampuhe bedah. Kemudian berganti jaman Kalajangga. Beribukota Pajang
dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun
kemudian musnah.
Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa
terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan
sebatang pohon kajar. Kemudian berganti jaman di Mataram. Kalasakti
Prabu Anyakrakusuma.
Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani
seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta
pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab
waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya
diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune modin
tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa
sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu.
Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama
kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau
Jawa. Jaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara
bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai
menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian
berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian
berganti.
Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja yang penuh inisiatif
dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian
berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti,
namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam
negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Sebab saya
diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak
berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang
tidak dapat ditolak.
Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri
sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara
Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune
Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin
menjatuhkan).
Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah. Punya keberanian dan
kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah
hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang
Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang selalu
diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak sempat mengatur
negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang kemben
tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya
Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang
tersebut.
Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak
membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi
Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan
negara.
Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti.
Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap
benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan
orang tua.
Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang
seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda
negara pecah.
Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan
gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara
Murka Kutila musnah.
Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak
kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi
Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia,
bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke
dalam persidangan.
Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah
Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan
ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu,
sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal
sedunia.
Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi
hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik
sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
[sunting] Isi Ramalan
Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
Tanah Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi.
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa.
Kali ilang kedhunge --- Sungai kehilangan mata air.
Pasar ilang kumandhang --- Pasar kehilangan suara.
Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
Bumi saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut.
Sekilan bumi dipajeki --- Sejengkal tanah dikenai pajak.
Jaran doyan mangan sambel --- Kuda suka makan sambal.
Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan berpakaian lelaki.
Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman--- Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
Akeh janji ora ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati.
keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan.
Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
Barang jahat diangkat-angkat--- Yang jahat dijunjung-junjung.
Barang suci dibenci--- Yang suci (justru) dibenci.
Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit--- Banyak orang hanya mementingkan uang.
Lali kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
Lali kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan.
Lali sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
Akeh bapa lali anak--- Banyak ayah lupa anak.
Akeh anak wani nglawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu.
Nantang bapa--- Menantang ayah.
Sedulur padha cidra--- Saudara dan saudara saling khianat.
Kulawarga padha curiga--- Keluarga saling curiga.
Kanca dadi mungsuh --- Kawan menjadi lawan.
Akeh manungsa lali asale --- Banyak orang lupa asal-usul.
Ukuman Ratu ora adil --- Hukuman Raja tidak adil
Akeh pangkat sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil
Akeh kelakuan sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat ganjil
Wong apik-apik padha kapencil --- Orang yang baik justru tersisih.
Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin --- Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
Luwih utama ngapusi --- Lebih mengutamakan menipu.
Wegah nyambut gawe --- Malas untuk bekerja.
Kepingin urip mewah --- Inginnya hidup mewah.
Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka --- Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
Wong bener thenger-thenger --- Orang (yang) benar termangu-mangu.
Wong salah bungah --- Orang (yang) salah gembira ria.
Wong apik ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
Wong jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik pangkat.
Wong agung kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan
Wong ala kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji.
Wong wadon ilang kawirangane--- perempuan hilang malu.
Wong lanang ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
Akeh wong lanang ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
Akeh wong wadon ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada suami.
Akeh ibu padha ngedol anake--- Banyak ibu menjual anak.
Akeh wong wadon ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri.
Akeh wong ijol bebojo--- Banyak orang gonta-ganti pasangan.
Wong wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda.
Wong lanang linggih plangki--- Laki-laki naik tandu.
Randha seuang loro--- Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
Prawan seaga lima--- Lima perawan lima picis.
Dhudha pincang laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
Akeh wong ngedol ngelmu--- Banyak orang berdagang ilmu.
Akeh wong ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri.
Njabane putih njerone dhadhu--- Di luar putih di dalam jingga.
Ngakune suci, nanging sucine palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka.
Akeh bujuk akeh lojo--- Banyak tipu banyak muslihat.
Akeh udan salah mangsa--- Banyak hujan salah musim.
Akeh prawan tuwa--- Banyak perawan tua.
Akeh randha nglairake anak--- Banyak janda melahirkan bayi.
Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
Agama akeh sing nantang--- Agama banyak ditentang.
Prikamanungsan saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang.
Omah suci dibenci--- Rumah suci dijauhi.
Omah ala saya dipuja--- Rumah maksiat makin dipuja.
Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
Akeh laknat--- Banyak kutukan
Akeh pengkianat--- Banyak pengkhianat.
Anak mangan bapak---Anak makan bapak.
Sedulur mangan sedulur---Saudara makan saudara.
Kanca dadi mungsuh---Kawan menjadi lawan.
Guru disatru---Guru dimusuhi.
Tangga padha curiga---Tetangga saling curiga.
Kana-kene saya angkara murka --- Angkara murka semakin menjadi-jadi.
Sing weruh kebubuhan---Barangsiapa tahu terkena beban.
Sing ora weruh ketutuh---Sedang yang tak tahu disalahkan.
Besuk yen ana peperangan---Kelak jika terjadi perang.
Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
Akeh wong becik saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
Wong jahat saya seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia.
Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
Wong salah dianggep bener---Orang salah dipandang benar.
Pengkhianat nikmat---Pengkhianat nikmat.
Durjana saya sempurna--- Durjana semakin sempurna.
Wong jahat munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat.
Wong lugu kebelenggu--- Orang yang lugu dibelenggu.
Wong mulya dikunjara--- Orang yang mulia dipenjara.
Sing curang garang--- Yang curang berkuasa.
Sing jujur kojur--- Yang jujur sengsara.
Pedagang akeh sing keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam.
Wong main akeh sing ndadi---Penjudi banyak merajalela.
Akeh barang haram---Banyak barang haram.
Akeh anak haram---Banyak anak haram.
Wong wadon nglamar wong lanang---Perempuan melamar laki-laki.
Wong lanang ngasorake drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri.
Akeh barang-barang mlebu luang---Banyak barang terbuang-buang.
Akeh wong kaliren lan wuda---Banyak orang lapar dan telanjang.
Wong tuku ngglenik sing dodol---Pembeli membujuk penjual.
Sing dodol akal okol---Si penjual bermain siasat.
Wong golek pangan kaya gabah diinteri---Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
Sing kebat kliwat---Yang tangkas lepas.
Sing telah sambat---Yang terlanjur menggerutu.
Sing gedhe kesasar---Yang besar tersasar.
Sing cilik kepleset---Yang kecil terpeleset.
Sing anggak ketunggak---Yang congkak terbentur.
Sing wedi mati---Yang takut mati.
Sing nekat mbrekat---Yang nekat mendapat berkat.
Sing jerih ketindhih---Yang hati kecil tertindih
Sing ngawur makmur---Yang ngawur makmur
Sing ngati-ati ngrintih---Yang berhati-hati merintih.
Sing ngedan keduman---Yang main gila menerima bagian.
Sing waras nggagas---Yang sehat pikiran berpikir.
Wong tani ditaleni---Orang (yang) bertani diikat.
Wong dora ura-ura---Orang (yang) bohong berdendang.
Ratu ora netepi janji, musna panguwasane---Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
Bupati dadi rakyat---Pegawai tinggi menjadi rakyat.
Wong cilik dadi priyayi---Rakyat kecil jadi priyayi.
Sing mendele dadi gedhe---Yang curang jadi besar.
Sing jujur kojur---Yang jujur celaka.
Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak rumah di punggung kuda.
Wong mangan wong---Orang makan sesamanya.
Anak lali bapak---Anak lupa bapa.
Wong tuwa lali tuwane---Orang tua lupa ketuaan mereka.
Pedagang adol barang saya laris---Jualan pedagang semakin laris.
Bandhane saya ludhes---Namun harta mereka makin habis.
Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---Banyak orang mati lapar di samping makanan.
Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara---Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
Sing edan bisa dandan---Yang gila bisa bersolek.
Sing bengkong bisa nggalang gedhong---Si bengkok membangun mahligai.
Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil---Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
Ana peperangan ing njero---Terjadi perang di dalam.
Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham---Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan makin merajalela.
Penjahat saya tambah---Penjahat makin banyak.
Wong apik saya sengsara---Yang baik makin sengsara.
Akeh wong mati jalaran saka peperangan---Banyak orang mati karena perang.
Kebingungan lan kobongan---Karena bingung dan kebakaran.
Wong bener saya thenger-thenger---Si benar makin tertegun.
Wong salah saya bungah-bungah---Si salah makin sorak sorai.
Akeh bandha musna ora karuan lungane---Banyak harta hilang entah ke mana
Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe---Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram---Banyak barang haram, banyak anak haram.
Bejane sing lali, bejane sing eling---Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
Nanging sauntung-untunge sing lali---Tapi betapapun beruntung si lupa.
Isih untung sing waspada---Masih lebih beruntung si waspada.
Angkara murka saya ndadi---Angkara murka semakin menjadi.
Kana-kene saya bingung---Di sana-sini makin bingung.
Pedagang akeh alangane---Pedagang banyak rintangan.
Akeh buruh nantang juragan---Banyak buruh melawan majikan.
Juragan dadi umpan---Majikan menjadi umpan.
Sing suwarane seru oleh pengaruh---Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
Wong pinter diingar-ingar---Si pandai direcoki.
Wong ala diuja---Si jahat dimanjakan.
Wong ngerti mangan ati---Orang yang mengerti makan hati.
Bandha dadi memala---Hartabenda menjadi penyakit
Pangkat dadi pemikat---Pangkat menjadi pemukau.
Sing sawenang-wenang rumangsa menang --- Yang sewenang-wenang merasa menang
Sing ngalah rumangsa kabeh salah---Yang mengalah merasa serba salah.
Ana Bupati saka wong sing asor imane---Ada raja berasal orang beriman rendah.
Patihe kepala judhi---Maha menterinya benggol judi.
Wong sing atine suci dibenci---Yang berhati suci dibenci.
Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat---Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
Pemerasan saya ndadra---Pemerasan merajalela.
Maling lungguh wetenge mblenduk --- Pencuri duduk berperut gendut.
Pitik angrem saduwure pikulan---Ayam mengeram di atas pikulan.
Maling wani nantang sing duwe omah---Pencuri menantang si empunya rumah.
Begal pada ndhugal---Penyamun semakin kurang ajar.
Rampok padha keplok-keplok---Perampok semua bersorak-sorai.
Wong momong mitenah sing diemong---Si pengasuh memfitnah yang diasuh
Wong jaga nyolong sing dijaga---Si penjaga mencuri yang dijaga.
Wong njamin njaluk dijamin---Si penjamin minta dijamin.
Akeh wong mendem donga---Banyak orang mabuk doa.
Kana-kene rebutan unggul---Di mana-mana berebut menang.
Angkara murka ngombro-ombro---Angkara murka menjadi-jadi.
Agama ditantang---Agama ditantang.
Akeh wong angkara murka---Banyak orang angkara murka.
Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan durhaka.
Ukum agama dilanggar---Hukum agama dilanggar.
Prikamanungsan di-iles-iles---Perikemanusiaan diinjak-injak.
Kasusilan ditinggal---Tata susila diabaikan.
Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
Wong cilik akeh sing kepencil---Rakyat kecil banyak tersingkir.
Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit---Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
Lan duwe prajurit---Dan punya prajurit.
Negarane ambane saprawolon---Lebar negeri seperdelapan dunia.
Tukang mangan suap saya ndadra---Pemakan suap semakin merajalela.
Wong jahat ditampa---Orang jahat diterima.
Wong suci dibenci---Orang suci dibenci.
Timah dianggep perak---Timah dianggap perak.
Emas diarani tembaga---Emas dibilang tembaga
Dandang dikandakake kuntul---Gagak disebut bangau.
Wong dosa sentosa---Orang berdosa sentosa.
Wong cilik disalahake---Rakyat jelata dipersalahkan.
Wong nganggur kesungkur---Si penganggur tersungkur.
Wong sregep krungkep---Si tekun terjerembab.
Wong nyengit kesengit---Orang busuk hati dibenci.
Buruh mangluh---Buruh menangis.
Wong sugih krasa wedi---Orang kaya ketakutan.
Wong wedi dadi priyayi---Orang takut jadi priyayi.
Senenge wong jahat---Berbahagialah si jahat.
Susahe wong cilik---Bersusahlah rakyat kecil.
Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak orang saling tuduh.
Tindake manungsa saya kuciwa---Ulah manusia semakin tercela.
Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan
disenengi---Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
Wong Jawa kari separo---Orang Jawa tinggal setengah.
Landa-Cina kari sejodho --- Belanda-Cina tinggal sepasang.
Akeh wong ijir, akeh wong cethil---Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
Sing eman ora keduman---Si hemat tidak mendapat bagian.
Sing keduman ora eman---Yang mendapat bagian tidak berhemat.
Akeh wong mbambung---Banyak orang berulah dungu.
Akeh wong limbung---Banyak orang limbung.
Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka---Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.
Sri Aji Jayabaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar