Angkatan Laut Majapahit atau Pasukan Laut di
masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1351-1389) semasa hidup Mahapatih
Gajahmada dan Laksamana Mpu Nala memiliki peralatan atau alutsista
perang laut yang paling mutakhir yakni kapal perang besar yang
dilengkapi senjata ampuh pada masanya berupa "cetbang" meriam ciptaan
Gajahmada, oleh karena itu juga merupakan adidaya penguasa perairan
belahan bumi Selatan. Formasi siasat tempur (gelar siasat perang) kapal
perang Majapahit tentu saja sudah maju tatkala berhadapan dengan musuh
di laut. Dengan kemampuan menggelar berbagai formasi tempur di laut
antara lain: "Cakra Manggilingan", "Supit Urang" (jepit udang), "Tapal
Kuda", "Kalajengking", "Panah Cepat", "Kuda Berbaris" maka tak sebuah
kapal musuh pun dapat meloloskan diri dari kejaran gugusan armada kapal
perang Majapahit.
Dalam pertempuran laut jika dua armada berkekuatan beberapa puluh kapal saling berhadapan, maka pimpinan gugus armada kapal perang yang membawahi puluhan kapal pengikutnya pertama kali yang dilakukan adalah meminta laporan dari juru tinjau yang duduk pada puncak menara kapal bendera yang bertugas menilai kekuatan dan jumlah armada musuh yang tengah mendekati dan diperkirakan melakukan penyerangan langsung. Dan yang lebih penting lagi ialah formasi siasat perang gelar apa yang tengah disusun oleh armada musuh. Kekuatan musuh yang besar dan membuka gelar "Kuda Berbaris sejajar" yang bentuknya melebar memang jarang dihadapi oleh armada kapal perang Majapahit. Jika terjadi pertempuran laut dan kekuatan Majapahit cuma separoh dari lawannya yang menggelar formasi perang laut "Kuda Berbaris" maka biasanya formasi perang yang dipilih ialah "Panah Cepat". Formasi kapal perang disusun dua dan berlapis-lapis, sehingga panjang seperti panah. Armada yang menggelar formasi perang "Panah Cepat" ini bertujuan menerobos maju terus menembus kapal perang musuh yang berjumlah besar dan kekuatannya berlebihan. Gerakan "Panah Cepat" ini memang harus dilakukan dengan penuh keberanian menghadapi musuh yang jauh lebih besar dan bertujuan untuk maju terus membobol pertahanan lawan, dan gerak maju menerobos itu sambil menembakkan amunisi serta menabrakkan kapal musuh harus cepat dan diiringi dengan tetap disiplin menjaga barisan, dan selanjutnya mengambil bantuan dari armada Majapahit lainnya.
Tatkala armada Majapahit dalam posisi sebagai musuh seperti yang digambarkan di atas, yakni sedang menggelar "Kuda Berbaris" dalam menghadapi "Panah Cepat" maka biasanya pimpinan armada memerintahkan kepada juru bendera untuk memasang isyarat mengubah gelar perang menjadi "Supit Urang" (jepit udang) sehingga dapat dilihat dan dilaksanakan oleh seluruh anggota gugus armada Majapahit. Gelar "Supit Urang" ialah gerakan lincah menyerang dan menjepit kapal musuh bagian demi bagian yang terlemah yakni bagian belakang "Panah Cepat" yakni tugas diberikan kepada kapal perang pada bagian ujung kiri kanan barisan mulai memisahkan diri, dan maju dengan kecepatan tinggi, biasanya pada bagian ini posisinya diduduki kapal serang cepat yang berukuran kecil.
Dan tatkala armada Majapahit dalam posisi sebagai musuh yakni sedang menggelar "Panah Cepat" seperti digambarkan di atas dan tengah menghadapi lawan "Supit Urang", maka juru bendera akan diperintahkan oleh pimpinan armada Majapahit untuk segera mengubah gelar siasat perang menjadi "Kalajengking". Kalajengking biasanya memiliki ekor yang sangat berbahaya karena gesit bergerak ke sana kemari sambil menancapkan sengatnya yang berbisa. Gerakan lainnya dalam gelar "Kalajengking" ialah dua tangan di kiri dan kanan dekat bagian kepala Kalajengking mampu bergerak kuat ke segala arah sambil menembakkan cetbang, menabrakkan dan mampu menjepit kapal musuh.
Jika gelar "Kalajengking" ini sukses menghadapi armada musuh "Supit Urang" yang lebih besar tersebut, maka sebagai pamungkas untuk menghancurkan musuh mereka, maka pihak armada Majapahit sekali lagi mulai mengubah gelar sehingga membentuk "Cakra Manggilingan" yang biasanya digunakan oleh Angkatan Darat Majapahit dalam peperangan puputan atau total menghadapi lawan-lawannya yang seimbang di medan perang terbuka.
Gelar "Tapal Kuda" dalam siasat perang laut Majapahit yang biasanya membutuhkan jumlah besar kapal perang, hanya digunakan untuk menghadapi kapal musuh yang hampir kalah dan berusaha mundur maka tidak membikin gelar apapun dan daya tempur kekuatannya semakin kecil.
Pasukan Darat Majapahit terdiri dari berbagai divisi, yakni divisi infantri atau pasukan kaki, divisi pasukan kavaleri atau pasukan kuda, dan divisi pasukan Tank atau pasukan Gajah. Pasukan kaki terdiri dari pasukan pedang, pasukan tombak, dan pasukan panah. Pasukan panah dan tombak juga bisa ikut menaiki panggung gajah dan sehingga dapat melontarkan anak panah maupun tombak menjadi lebih tepat sasaran pada musuh.
Siasat perang "Cakra Manggilingan" baru digelar setelah terjadinya pertempuran memasuki babak tengah dan akhir, gelar yang juga bisa dibuka di tengah laut itu memang gelar lanjutan untuk langkah "pemusnahan musuh". Satu ekor gajah dijaga oleh pasukan kaki, karena tumit gajah adalah bagian paling lemah, bergerak maju menyerang musuh dengan cepat. Sementara sekelompok kecil pasukan kuda telah membuka jalan sebelumnya bagi gajah perang yang di punggungnya menggendong prajurit pemanah dan prajurit tombak. Sekelompok kecil musuh yang hampir terkejut oleh kedatangan pasukan kuda, dibuat lebih kaget lagi disambangi gajah yang kakinya menghancurkan apa saja yang diinjaknya, dan semburan panah dan tombak terus menghujani kelompok musuh.
Dalam perang laut armada Majapahit maka gelar Cakra Manggilingan itu dibuka dan mulai mengeroyok musuh secara sendiri-sendiri. Gabungan kapal cepat, kapal perusak, dan kapal bekal (makanan dan amunisi) mengejar kelompok musuh yang berkekuatan lebih kecil dan memusnahkan mereka. Dan tatkala matahari mulai tenggelam, maka pertempuran laut semasa Majapahit itu dengan sendirinya akan dihentikan. Demikian pula dalam perang darat, begitu hari gelap maka masing-masing pasukan yang saling bertempur itu akan memutuskan untuk istirahat.
Esok harinya, Armada Majapahit yang mendapatkan keunggulan sehari sebelumnya begitu mentari terbit mulai beraksi dalam formasi tempur gelar "Tapal Kuda" dan bergerak mengepung musuh yang mulai lemah. Berapapun lebar medan laut posisi musuh yang sedang mengalami keruntuhan akan tetapi pantang menyerah itu harus dapat ditutup dengan kekuatan dan jumlah kapal perang Majapahit yang tersedia, sehingga jarak antara kapal menjadi agak lebar tergantung daripada arena medan perang laut yang sedang mendidih. Begitulah keberanian pasukan laut Majapahit yang pantang mundur ke darat selama dalam pertempuran di medan lautan Nusantara dan di pojok-pojok bagian bumi selatan lainnya.
Dalam pertempuran laut jika dua armada berkekuatan beberapa puluh kapal saling berhadapan, maka pimpinan gugus armada kapal perang yang membawahi puluhan kapal pengikutnya pertama kali yang dilakukan adalah meminta laporan dari juru tinjau yang duduk pada puncak menara kapal bendera yang bertugas menilai kekuatan dan jumlah armada musuh yang tengah mendekati dan diperkirakan melakukan penyerangan langsung. Dan yang lebih penting lagi ialah formasi siasat perang gelar apa yang tengah disusun oleh armada musuh. Kekuatan musuh yang besar dan membuka gelar "Kuda Berbaris sejajar" yang bentuknya melebar memang jarang dihadapi oleh armada kapal perang Majapahit. Jika terjadi pertempuran laut dan kekuatan Majapahit cuma separoh dari lawannya yang menggelar formasi perang laut "Kuda Berbaris" maka biasanya formasi perang yang dipilih ialah "Panah Cepat". Formasi kapal perang disusun dua dan berlapis-lapis, sehingga panjang seperti panah. Armada yang menggelar formasi perang "Panah Cepat" ini bertujuan menerobos maju terus menembus kapal perang musuh yang berjumlah besar dan kekuatannya berlebihan. Gerakan "Panah Cepat" ini memang harus dilakukan dengan penuh keberanian menghadapi musuh yang jauh lebih besar dan bertujuan untuk maju terus membobol pertahanan lawan, dan gerak maju menerobos itu sambil menembakkan amunisi serta menabrakkan kapal musuh harus cepat dan diiringi dengan tetap disiplin menjaga barisan, dan selanjutnya mengambil bantuan dari armada Majapahit lainnya.
Tatkala armada Majapahit dalam posisi sebagai musuh seperti yang digambarkan di atas, yakni sedang menggelar "Kuda Berbaris" dalam menghadapi "Panah Cepat" maka biasanya pimpinan armada memerintahkan kepada juru bendera untuk memasang isyarat mengubah gelar perang menjadi "Supit Urang" (jepit udang) sehingga dapat dilihat dan dilaksanakan oleh seluruh anggota gugus armada Majapahit. Gelar "Supit Urang" ialah gerakan lincah menyerang dan menjepit kapal musuh bagian demi bagian yang terlemah yakni bagian belakang "Panah Cepat" yakni tugas diberikan kepada kapal perang pada bagian ujung kiri kanan barisan mulai memisahkan diri, dan maju dengan kecepatan tinggi, biasanya pada bagian ini posisinya diduduki kapal serang cepat yang berukuran kecil.
Dan tatkala armada Majapahit dalam posisi sebagai musuh yakni sedang menggelar "Panah Cepat" seperti digambarkan di atas dan tengah menghadapi lawan "Supit Urang", maka juru bendera akan diperintahkan oleh pimpinan armada Majapahit untuk segera mengubah gelar siasat perang menjadi "Kalajengking". Kalajengking biasanya memiliki ekor yang sangat berbahaya karena gesit bergerak ke sana kemari sambil menancapkan sengatnya yang berbisa. Gerakan lainnya dalam gelar "Kalajengking" ialah dua tangan di kiri dan kanan dekat bagian kepala Kalajengking mampu bergerak kuat ke segala arah sambil menembakkan cetbang, menabrakkan dan mampu menjepit kapal musuh.
Jika gelar "Kalajengking" ini sukses menghadapi armada musuh "Supit Urang" yang lebih besar tersebut, maka sebagai pamungkas untuk menghancurkan musuh mereka, maka pihak armada Majapahit sekali lagi mulai mengubah gelar sehingga membentuk "Cakra Manggilingan" yang biasanya digunakan oleh Angkatan Darat Majapahit dalam peperangan puputan atau total menghadapi lawan-lawannya yang seimbang di medan perang terbuka.
Gelar "Tapal Kuda" dalam siasat perang laut Majapahit yang biasanya membutuhkan jumlah besar kapal perang, hanya digunakan untuk menghadapi kapal musuh yang hampir kalah dan berusaha mundur maka tidak membikin gelar apapun dan daya tempur kekuatannya semakin kecil.
Pasukan Darat Majapahit terdiri dari berbagai divisi, yakni divisi infantri atau pasukan kaki, divisi pasukan kavaleri atau pasukan kuda, dan divisi pasukan Tank atau pasukan Gajah. Pasukan kaki terdiri dari pasukan pedang, pasukan tombak, dan pasukan panah. Pasukan panah dan tombak juga bisa ikut menaiki panggung gajah dan sehingga dapat melontarkan anak panah maupun tombak menjadi lebih tepat sasaran pada musuh.
Siasat perang "Cakra Manggilingan" baru digelar setelah terjadinya pertempuran memasuki babak tengah dan akhir, gelar yang juga bisa dibuka di tengah laut itu memang gelar lanjutan untuk langkah "pemusnahan musuh". Satu ekor gajah dijaga oleh pasukan kaki, karena tumit gajah adalah bagian paling lemah, bergerak maju menyerang musuh dengan cepat. Sementara sekelompok kecil pasukan kuda telah membuka jalan sebelumnya bagi gajah perang yang di punggungnya menggendong prajurit pemanah dan prajurit tombak. Sekelompok kecil musuh yang hampir terkejut oleh kedatangan pasukan kuda, dibuat lebih kaget lagi disambangi gajah yang kakinya menghancurkan apa saja yang diinjaknya, dan semburan panah dan tombak terus menghujani kelompok musuh.
Dalam perang laut armada Majapahit maka gelar Cakra Manggilingan itu dibuka dan mulai mengeroyok musuh secara sendiri-sendiri. Gabungan kapal cepat, kapal perusak, dan kapal bekal (makanan dan amunisi) mengejar kelompok musuh yang berkekuatan lebih kecil dan memusnahkan mereka. Dan tatkala matahari mulai tenggelam, maka pertempuran laut semasa Majapahit itu dengan sendirinya akan dihentikan. Demikian pula dalam perang darat, begitu hari gelap maka masing-masing pasukan yang saling bertempur itu akan memutuskan untuk istirahat.
Esok harinya, Armada Majapahit yang mendapatkan keunggulan sehari sebelumnya begitu mentari terbit mulai beraksi dalam formasi tempur gelar "Tapal Kuda" dan bergerak mengepung musuh yang mulai lemah. Berapapun lebar medan laut posisi musuh yang sedang mengalami keruntuhan akan tetapi pantang menyerah itu harus dapat ditutup dengan kekuatan dan jumlah kapal perang Majapahit yang tersedia, sehingga jarak antara kapal menjadi agak lebar tergantung daripada arena medan perang laut yang sedang mendidih. Begitulah keberanian pasukan laut Majapahit yang pantang mundur ke darat selama dalam pertempuran di medan lautan Nusantara dan di pojok-pojok bagian bumi selatan lainnya.
Sumber : http://www.hastamitra.org/2011/09/taktik-dan-strategi-pasukan-laut.html
0 komentar:
Posting Komentar